Sekolah
Ramah Anak Atasi Tawuran

ewasnya
siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit
yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar
panjang siswa yang tewas dalam satu dekade.
Siswa kelas
X yang hobi main band itu terkapar tak jauh dari pintu gerbang sekolahnya di
SMA 6. Padahal, lokasi sekolah korban dan pelaku bertetangga dan berada di
kawasan strategis di Jakarta Selatan.
Sebulan
sebelumnya, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP 6, tewas disambar commuter line
di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Ia tewas ditabrak kereta saat
dikejar sekelompok pelajar lain. Jasuli yang saat itu berseragam pramuka
berlari sendirian.
Dua hari
setelah kematian Alawy, menyusul Deny Yanuar (17) alias Yadut, siswa SMK
Yayasan Karya 66 (Yake). Ia juga tewas disabet celurit AD alias Djarot (15) dibantu
rekannya, EK dan GAL. Yadut tergeletak tak jauh dari sekolahnya di Jalan
Minangkabau, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia tewas mengenaskan
setelah dikeroyok pelajar SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Kasus
kematian Alawy dan Denny masih diusut, pecah lagi tawuran di bundaran Pancoran,
Jakarta Selatan. Kali ini pelakunya siswa SMK Bakti, Cawang, Jakarta Timur,
dengan SMK 29 Penerbangan, Jakarta Selatan, Kamis (11/10).
Meski tak
ada yang tewas, namun, Rizki Alfian (15) alias Pepen dan Jalal Muhammad Akbar
(16)—keduanya siswa SMK Bakti Jakarta—luka berat. Polisi kemudian menetapkan
enam tersangka dari siswa SMK 29. Lima hari berselang, 80 siswa SMK Bakti ingin
membalas dendam kepada siswa-siswa SMK. Mereka membawa bom molotov, celurit,
golok, gir, dan lainnya.
Rencana para
siswa itu tercium petugas dan guru sehingga mereka digiring ke halaman Polres
Jakarta Selatan. Dari 80 siswa, polisi kemudian menetapkan 12 siswa sebagai
tersangka.
Di Bogor,
juga terjadi tawuran yang menyebabkan tewasnya seorang pelajar, Agung (17).
Polisi membekuk Ga (15), siswa SMP yang diduga terlibat penganiayaan dengan
celurit hingga menyebabkan korban tewas.
Tawuran juga
terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, Kamis (11/10)
lalu. Buntut dari tawuran itu, dua orang mahasiswa UNM tewas. Kepolisian Resor
Kota Besar Makassar menetapkan MAB (20) dan kakaknya, MA (21), sebagai
tersangka. Korban tewas adalah Rizky Munandar, mahasiswa UNM, dan Haryanto,
mantan mahasiswa UNM.
Perubahan
kurikulum
Makin
maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja
polisi yang sudah menggunung. Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena
tawuran pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati
jangan sampai dijadikan kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani.
Sementara itu, banyak sekali kasus lain yang juga harus mendapat prioritas.
Hal itu
ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S
Radjab, Rabu lalu. ”Jangan hanya menyerahkan kepada polisi saja jika sudah
terjadi tawuran. Tetapi, bagaimana pencegahannya dan pembinaannya justru di
rumah dan di sekolah. Polisi sudah menangani. Ada teknik dan aturan hukum yang
diterapkan terhadap siapa pun pelakunya. Namun, ada pertimbangan dan kebijakan
lain, karena ini menyangkut anak di bawah umur,” papar Untung.
Sementara
bagi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran
sekarang ini menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang
kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata
pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada
Februari 2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas
di sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta, pekan lalu.
Musliar
mengakui, kurikulum yang berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata
pelajaran yang diberikan kepada anak didik dinilai sangat berlebihan.
Akibatnya, siswa didik terbebani untuk belajar.
Selain itu,
tambah Musliar, dengan penataan kurikulum, pelajaran akan ditekankan kembali
pada pelajaran mengenai sikap dan budi pekerja, selain juga kemampuan dan
pengetahuan.
Kepala Dinas
Pendidikan DKI Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, untuk mencegah terjadinya
tawuran, pihaknya tengah membangun simpul-simpul hubungan antarsekolah. Memang
tak mudah, tapi tidak boleh bosan untuk membangun hal itu.
Terkait
sanksi, Taufik menyatakan, sanksi yang pertama diarahkan kepada sekolah karena
memiliki kewenangan dan otonomi. ”Jika terulang lagi, sekolah akan kami beri
sanksi. Persoalannya, selama ini standar sekolah berbeda-beda menangani
tawuran. Ini yang akan disamakan. Dari sanksi yang sudah dijalankan berupa
teguran lisan, selanjutnya bisa menyangkut akreditasi sekolah.”
Menurut
Taufik, setelah tahapan sanksi teguran, administratif, dan pidana berjalan,
peninjauan akreditasi sekolah akan dilakukan.
Peran negara
Pengamat
sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, salah satu
penyebab utama tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun-temurun. Ini
terlihat dari pola tawuran yang biasa terjadi di antara dua atau lebih sekolah
yang memendam ketegangan lama.
”Perselisihan
yang menahun atau bahkan bertahan puluhan tahun itu terwariskan ke generasi
selanjutnya dengan pewarisan sense of identity,” ujarnya.
Sebagai
contoh, di salah satu sekolah yang sering tawuran di Jakarta, nyaris semua
anaknya mengenal bagaimana cara menggunakan gesper sebagai senjata untuk
menyerang lawannya. Jadi, ada tradisi kekerasan yang terwariskan dengan kuat
secara turun-temurun.
”Di sekolah
lain, saya pernah menemukan para alumninya membanggakan sekolahnya dulu berani
menyerang sekolah-sekolah lainnya dan disegani karena ketangguhan fisiknya. Ini
menunjukkan bahwa kekerasan menjadi cara membuktikan diri dan identitas,” ujar
Devie.
Inilah yang
menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi, sudah
melebih batas-batas toleransi. Maka, kasus tawuran sungguh menyedihkan dan
memprihatinkan semua pihak. Padahal, negara belum memiliki sistem untuk
menangani tawuran yang terus-menerus terjadi dan meminta korban jiwa.
”Bukan hanya
soal tewasnya siswa dan mahasiswa, tetapi juga tawuran yang terjadi di dunia
pendidikan yang seharusnya mengedepankan kecerdasan dan intelektual. Oleh sebab
itu, sekolah ramah anak harus menjadi solusi bagi penyelesaian kasus tawuran.
Sekolah harus menjadi rumah besar di mana anak didik dan guru serta orangtua
bersentuhan dan tak ada kekerasan apalagi diskriminasi. Sekolah yang menumbuh
kembangkan dan mendengarkan pendapat anak,” kata Badriyah, Kamis (18/10).
Hal senada
diperkuat Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh. Negara harus hadir untuk
menghentikan kasus tawuran yang sudah keterlaluan itu. ”Hanya dengan sekolah
ramah anak, kita harapkan tawuran diminimalisasi,” harapnya.